Apa yang dimaksud dengan visi misi pernikahan, Form of Reference, dan Form of Experience?
Jawaban:
Visi pernikahan adalah tujuan seseorang untuk menikah, sedangkan Misi adalah tugas untuk mewujudkan visi tersebut.
Form of Reference adalah cara seseorang berpikir, berkomunikasi, dan menyelesaikan masalah berdasarkan pendidikan, pengetahuan, adat, dan budaya. Sedangkan Form of Experience adalah cara seseorang berpikir, berkomunikasi, dan menyelesaikan masalah berdasarkan pengalaman hidupnya. Jika pasangan suami istri mampu menyatukan dan mengkompromikan FOR & FOE dalam pernikahannya, tandanya pasutri tersebut telah masuk pada tahapan penerimaan (acceptance) dan berhasil beradaptasi. Berhasil beradaptasi merupakan salah satu modal pasutri untuk sukses mencapai visi misi pernikahannya.
FOR & FOE itu harus diketahui sebelum nikah atau setelah nikah?
Jawaban:
FOR & FOE sebaiknya diketahui sebelum menikah. Para ulama Salafusshalih dan para orang tua zaman dahulu menyontohkan bagaimana menyelidiki sifat dan latar belakang calon pasangan putra/putrinya, tujuannya untuk memahami apakah seseorang tersebut memang orang yang terbaik bagi putra/putrinya. Selain itu, untuk mengetahui keadaan, sifat, dan karakter calon pasangan, sehingga mudah untuk melakukan komunikasi dan membuat kesepakatan saat menikah nanti serta ketenangan/sakinah dapat tercapai.
Kalau bisa FOR dan FOE masing-masing calon pasangan dibicarakan dengan calon mertua dan ipar, itu bagus. Maka yang namanya “pacaran” menurut saya bukan sekadar jalan bareng, tapi “diskusi” tentang visi misi ini.
Tapi, itu pasti itu sulit, juga riskan. Kita tidak dapat begitu saja membagi rahasia masa lalu dan impian masa depan kita kepada orang lain, walaupun dia “teman dekat”. Maka menurut saya, yang perlu di-share sebelum menikah hanya yang bersifat global saja.
Setelah menikah, barulah pasutri berdiskusi intensif dalam masalah ini. Dalam diskusi ini, baik yang verbal dengan kata-kata, atau lewat observasi terhadap gerak-gerik keseharian, bahasa tubuh, atau bahkan raut muka, masih sangat mungkin seseorang “dikejutkan” oleh hal-hal yang tak terduga dari pasangan kita berkaitan dengan visi misi, FOR, dan FOE-nya. Kesiapan menghadapi hal tersebut sangat penting. Orang yang menikah setelah berpacaran pun bisa terkejut, bisa merespon salah. Apalagi jika anak sudah hadir. Ujian sesungguhnya terhadap visi dan misi dimulai.
Perbedaan sebelum menikah memang lebih mudah dan lebih ringan untuk jadi alasan masing-masing mengambil jalan sendiri. Tapi, menurut saya, seterbuka apapun, yang paling mengenal seseorang hanyalah diri sendiri dan Allah. Maka, husnuzon sangat penting pada si dia dan juga kepada Allah.
Apa yang dimaksud dengan Core Value?
Jawaban:
Core value adalah prinsip hidup yang dipegang seseorang. Setiap orang dan setiap keluarga memiliki prinsip hidup yang berbeda-beda. Menyatukan core value ini tujuannya agar selaras harmonis suami dan istri untuk mencapai tujuan bersama. Karena prinsip hidup berkaitan dengan orientasi seseorang akan hidupnya.
Misalnya, core value hidup suami A adalah kemuliaan ilmu dan core value istri adalah berderma atau philantropi. Lalu bagaimana menyatukannya? Komunikasikan prinsip hidup masing-masing antara suami dan istri, temukan titik temu core value masing-masing. Misalnya berderma dengan kemuliaan ilmu. Prinsip hidup itu yang kemudian dipegang erat pasangan suami istri tersebut dalam menjalani hidup rumah tangga mereka.
Kalau ternyata cara komunikasi si calon sebelum menikah ada yang tidak sesuai (belum menemukan cara yang sesuai dengan kebutuhan kita), apakah itu juga termasuk dalam salah satu pertimbangan penting dalam memutuskan lanjut atau tidak ke jenjang pernikahan? Namun kriteria lainnya sudah memenuhi syarat. Apakah akan sangat berdampak?
Jawaban:
Sebelum memutuskan untuk berpisah, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah perbedaan komunikasi yang dimaksud, masuk dalam area prinsip atau tidak. Karena boleh jadi, hanya beda gaya komunikasi yang belum dimengerti. Oleh karenanya, pelajari gaya komunikasi pasangan. Tapi hati-hati jika komunikasinya sudah mengarah kepada kekerasan verbal maupun merendahkan/insulting harga diri kita. Maka opsi berpisah lebih baik ditempuh.
Apakah harus menumbuhkan rasa cinta dulu baru menikah saat keduanya ditemukan dalam perjodohan dan bagaimana membangun cinta saat sudah berumah tangga?
Jawaban:
Saya akan bercerita tentang proses pernikahan saya dan suami. Saya dan suami sebenarnya dikenalkan dan dijodohkan oleh keluarga. Ketemu 3 kali langsung menikah. Prosesnya hanya 3 bulan dari kenalan lewat telepon hingga akad nikah. Saya ada di Malang dan suami ada di Tangerang. Jadi, komunikasi pun jarak jauh via telepon saat itu.
Awalnya belum ada rasa cinta terhadap suami, baru ada rasa cocok dan nyaman saat bertelponan. Tapi kemudian saat menikah, saya memegang teguh rasa nyaman dan cocok dalam berkomunikasi itu. Karena rasa nyaman terhadap pasangan adalah rasa sakinah yang ditanamkan oleh Allah. Seiring berjalannya waktu, dengan penerimaan (acceptance) terhadap suami, sifat baiknya, dan takdir menikah dengannya, serta rasa syukur terhadap suami, perlahan-lahan rasa cinta itu dihadirkan oleh Allah.
Jadi, proses cinta itu bisa ditumbuhkan kepada pasangan jika kita MENERIMA dan MENSYUKURI pasangan.
Menikahi orang yang sudah dicintai sebelum akad nikah itu ANUGERAH. Sedangkan mencintai orang yang sudah dinikahi itu KEWAJIBAN. Maksudnya, jika seseorang sudah memiliki rasa cinta kepada pasangannya sebelum menikah, maka dia perlu mensyukuri anugerah/nikmat dari Allah itu dengan cara terus menjaga dan merawat cinta itu setelah akad nikah. Ini bukan hal yang mudah.
Cinta pada mulanya berasal dari hal-hal yang fisik dan material serta harus dilanjutkan pada hal-hal yang bersifat rasional dan spiritual. Jika dia mensyukuri nikmat ini, maka insyaallah nikmatnya tersebut tidak akan dicabut oleh Allah dan malah akan terus ditambah.
Jika dia dijodohkan, maka tidak mengapa. Ia bisa memulai cinta itu pada saat kenal atau akad nikah. Ini harus dia terima sebagai kewajiban dan jihadnya. Jika berhasil, maka dia akan mendapatkan anugerah juga.
Menumbuhkan cinta kasih antara suami istri akan sangat berpengaruh ada kemantapan emosional anak. Sangat penting bagi anak untuk melihat orang tuanya saling mengasihi. Jadi “lebay-lebayan” seperti berpelukan di depan anak, di depan mertua, di depan ipar, bolehlah. Kan sudah halal.
Tentang dia yang pernah hadir dalam hidup kita, dicintai oleh hati kita, tapi tidak menjadi pasangan kita, masa lalu tersebut harus ditinggalkan. Jika seseorang merasa dirinya lemah, sehingga hatinya tidak stabil, maka sebaiknya dia memutus kontak dengan orang tersebut agar dia dapat berfokus membangun cintanya pada orang yang dia nikahi.
Didalam sebuah riwayat mengatakan, “orang yang takut pada Allah, jika dia mencintai pasangannya maka dia akan memuliakannya. Jika tidak, maka dia tidak akan menyakitinya.”
Apa solusi yang tepat agar Ayah dari pihak wanita bisa merelakan anak perempuannya dibawa oleh suaminya tanpa durhaka kepada suaminya karena tidak memenuhi permintaan suaminya?
Jawaban:
Menurut saya, perlu dikomunikasikan penyebab si Ayah tidak setuju anak perempuannya ikut suami. Apakah karena faktor ekonomi, kesepian, atau tidak percaya? Masing-masing sebab diatas, tentu solusi dan pendekatannya berbeda.
Saran saya, untuk saat ini calon suami meyakinkan si Ayah bahwa ia orang yang tepat yang akan menanggung hidup putrinya, sehingga si Ayah tidak perlu khawatir melepas putrinya. Sambil berikhtiar berkomunikasi dengan orang yang dihormati si Ayah untuk disadarkan bahwa setelah menikah perempuan bertanggung jawab dan mesti mengabdi kepada suaminya. Dan pengabdian putrinya nanti akan menjadi amal jariyah bagi si Ayah.
Budaya orang Indonesia memang unik. Orang yang sudah berumah tangga dapat tetap tinggal dengan orang tuanya. Memang berat melepas anak pergi. Sewaktu dia sekolah, melepasnya ke pesantren. Waktu dia kuliah, melepasnya untuk tinggal di kosan di luar kota.
Di satu sisi, budaya yang tidak ada di beberapa Negara lain ini merupakan budaya yang baik dan memberikan kemudahan bagi para pasangan muda yang menikah pada saat belum siap untuk benar-benar mandiri. Kalau hal itu menjadi sebab penundaan pernikahan, menurut saya sebaiknya pihak laki-laki mengalah dan pernikahan tidak ditunda.
Setelah menikah, mulanya silahkan tinggal dirumah di Ayah. Setelah itu, izin untuk bulan madu. Dari tempat bulan madu dan tetap menjaga komunikasi dengan orang tua. Mungkin hal tersebut dapat menyadarkan si Ayah bahwa tinggal berbeda rumah, kota, bahkan Negara, tidak berarti berjauhan. Dan tinggal serumah pun tidak berarti berdekatan. Jauh atau dekat yang lebih esensial adalah jauh atau dekatnya hati. Sedikit demi sedikit si Ayah akan menerima dan melepas anaknya pergi.
Apakah berdosa seorang anak tidak menuruti perintah orang tuanya dalam hal jurusan kuliah. Misalnya, orang tua menginginkan anaknya masuk di jurusan A sedangkan si anak menginginkan jurusan B, apa yang harus dilakukan? Dan terkadang ada sebuah kasus si anak terpaksa masuk di jurusan pilihan orang tuanya lalu pada akhirnya mengalami kegagalan.
Jawaban:
Menurut saya tidak berdosa. Problemnya adalah komunikasi dan saling pengertian yang tidak berjalan baik antara anak dan orang tua. Anak perlu terus menjalin komunikasi yang baik kepada orang tuanya, sambil terus memberikan pembuktian dengan prestasi serta kemandirian hidup, sehingga lambat laun orang tua percaya bahwa pilihan tersebut adalah yang terbaik bagi si anak. Namun perlu diingat, biasanya pembuktian ini memerlukan waktu dan prosesnya tidak instan, maka perlu kesiapan mental dan kedewasaan si anak untuk terus memperjuangkan pilihan hidupnya.
Meskipun anak adalah cerminan orang tua, tapi jiwa anak itu benar-benar mandiri, otonom, dan merdeka dari jiwa orang tuanya. Kegemaran, bakat, dan harapannya berbeda. Jadi menurut saya, pendidikan utama yang tidak boleh ditawar-tawar dari orang tua pada anak hanya pada tauhid (dan rukun iman lainnya), kepatuhan kepada syariat, serta pembekalan karakter atau budi mulia, serta kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dan Al-Quran seperti yang diriwayatkan pada suatu hadis.
Apa yang perlu kita lakukan dalam menghadapi ketidaksetujuan orang tua dalam hubungan pernikahan yang ingin dijalani dengan alasan hanya tidak suka atau hal-hal yan tidak sama sekali melanggar syariat?
Jawaban:
Ini memang rumit sekali. Saya mengenal orang yang tidak disetujui hubungannya hanya karena beda suku, apalagi beda bangsa. Bahkan, saya mengenal ada pasangan yang hubungan mereka pada awalnya kurang disetujui hanya karena beda tata cara ibadah. Contoh yang sangat simple misalnya, yang satu subuhnya pake Qunut, yang satunya tidak. Perbedaan itu membuat orang tua tidak setuju.
Kenalan-kenalan saya itu akhirnya tetap menikah. Masa depan itu ada di tangan Allah Yang Maha Kuasa. Dan pada satu momen dalam perjalanan hidup mereka, saya tahu bahwa pihak yang tidak setuju itu pada akhirnya malah sangat sayang pada calon menantu yang tidak dia setujui.
Saran saya, Duduklah bersama orang tua dan komunikasikan tentang pilihan kita sembari sholat istikharah bersama orang tua untuk meminta petunjuk yang terbaik kepada Allah. Setelah itu, berkomitmen menerima apapun petunjuk yang diberikan oleh Allah SWT.
Tapi, mendengar saran orang tua sangat penting. Selama dapat diikuti, berusahalah mengikuti. Terkadang firasat orang tua sangat tajam, bisa jadi yang baik menurut anak, belum tentu baik menurut Allah dan orang tuanya. Maka solat istikharah, menyelidiki calon pasangan dengan meminta bantuan pihak yang netral, dibutuhkan untuk memantapkan menentukan pilihan.
Seberapa penting peran ekonomi ketika hendak melangkah ke jenjang pernikahan?
Jawaban:
Faktor kemandirian ekonomi sangat penting. Salah satu tanda seseorang sudah dianggap dewasa dan dipercaya untuk menikah saat ia telah sanggup mencari nafkah dan punya penghasilan. Dengan ekonomi yang sudah mandiri, membuat orang tua akan mengizinkan dengan hati yang ridho dan lapang serta memberikan kepercayaan saat anaknya berkeinginan untuk menikah.
Banyak kebaikan yang bisa dilakukan dengan dukungan finansial. Tapi, karakter dan ketakwaan lebih penting. Calon yang berbakat untuk punya kemampuan finansial di masa depan, walaupun pada saat ini (secara aktual) dia belum memilikinya, adalah calon yang lebih baik daripada calon yang sekarang sudah memiliki kemampuan finansial, misalnya karena dukungan orang tuanya, tapi karakternya tidak mendukung untuk itu di masa depan.
Apa pesan-pesan dan nasihat bagi pasangan yang menikah seumuran?
Jawaban:
Untuk pasangan seumuran, nasihatnya sama saja dengan pasangan beda usia baik lelaki lebih tua atau sebaliknya yaitu pelajari gaya komunikasi pasangan masing-masing, buat kesepakatan bersama, apa yang penting dan prioritas dalam kehidupan rumah tangga versi mereka, buat komitmen pernikahan dan komunikasikan cara apa yang harus ditempuh untuk mencapai solusi saat mengalami konflik sesuai tuntunan yang diajarkan Nabi SAW.
Ada sebuah pepatah mengatakan “Kita bisa menentukan dengan siapa kita akan menikah, tetapi kita tidak bisa menentukan kepada siapa kita akan jatuh cinta”. Bagaimana maksud pepatah tersebut? Apakah menikah sebaiknya harus selalu dilandaskan oleh rasa cinta?
Jawaban:
jatuh cinta yang dimaksud itu rasa yang bagaimana? Apakah berdebar-debar, jantung berdegup kencang, selalu terbayang-bayang wajahnya, tubuh seperti disengat listrik saat bersentuhan dengan si dia? Jika yang dimaksud dengan rasa “jatuh cinta” adalah yang saya definisikan di atas.
Percayalah, dalam pernikahan rasa yang seperti itu tidak lama waktunya. Biasanya hanya 6 bulan sampai 2 tahun awal pernikahan. Walaupun ini pada pasangan yang sudah berpacaran dan punya rasa cinta dulu sebelum menikah.
Setelahnya, rasa itu lama-lama akan hilang, apalagi jika sudah lahir sang buah hati. Rasa cintanya akan bermetamorfosis jadi kenyamanan, rasa rindu yang menentramkan, sesekali gejolak itu muncul. Tapi intensitasnya akan berkurang jauh. Apalagi jika konflik rumah tangga muncul dan meruncing, rasa “jatuh cinta” itu akan hilang sama sekali, berganti kemarahan dan kebencian.
Maka apa yang membuat awet hubungan rumah tangga? Komitmen serta tujuan kita menikah, rasa syukur, husnuzon terhadap pasangan, dan alasan takdir Allah menjodohkan kita dengan pasangan.
Perbuatan zahir kita, kitalah yang menentukan. Perbuatan hati kita, kita juga yang menentukan. Bahkan, di dalam hati inilah ruang kebebasan kita untuk menentukan lebih besar.
Itulah beberapa pertanyaan dan jawaban seputar pernikahan dan parenting yang bisa jadi panduan untuk mewujudkan Wonderful Family yang berhasil. Semoga pasangan kita, anak keturunan kita semuanya cerah ceria di dunia dan akhirat. Aamiin. (Baca Juga: Kuliah Parenting Online: Wonderful)
Komentar
Posting Komentar